TENTANG SAHABAT



“Ketika aku hancur dan kehilangan arah, adalah para sahabat yang menyelamatkanku. Mereka memberitahuku bahwa perpisahan bukanlah akhir dunia. Mereka juga berkata bahwa tak mengapa untuk sejenak melarikan diri, asalkan tidak lupa arah jalan pulang. Maka, ditangan mereka kupercayakan nyawa untuk sejenak kabur.
Ke gununglah angin membawa kami. Gunung yang memiliki pesona mistikal dari kejauhan, namun mematikan dari dekat, selalu menjerat langkah manusia untuk larut bersamanya, untuk rela menantang maut untuk mencecap keindahannya. Dan amatlah keliru jika kita melakukan perjalanan supaya bisa pamer foto atau menunjukan kegagahan. Gunung tidak diciptakan untuk memuaskan harga diri kita. Ia diciptakan agar kita lebih merunduk dan merendahkan hati.
Sahabat laksana saudara yang lahir dari rahim yang berbeda. Alangkah miskinnya orang-orang yang hanya bertemankan uang, tanpa pernah memiliki seseoramg untuk berbagi tawa dalam keadaan susah dan senang. Maka jadilah tangan ketika sahabat tak bisa meraih. Jadilah kaki ketika sahabat tak bisa berjalan. Jadilah mata ketika sahabat tak bisa melihat. Seseorang yang tak meninggalkan kita disaat sulit adalah seseorang yang tidak boleh kita tinggalkan disaat senang.
Jabat erat, tepuk pundak, melangkah bersama.”

Itulah beberapa paragraf yang ku kutip dari buku Garis Waktu karya Bung. Dan kurasa memang paragraf itu benar adanya, mengenai sahabat pun mengenai gunung. Kali ini aku tidak akan membicarakan tentang gunung. Sekali-sekali tidak apalah aku menuliskan tentang catatan perjalanan patah hati ku meskipun kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu.

Berawal dari perkenalan ku dengan seorang seniorku dikampus, lelaki populer dengan segudang fans dan penggemar berat. Aku baru mulai menginjak semester satu kala itu dimana semua masih berjalan dengan baik-baik saja dan apa adanya. Cinta ? Aku tak tahu binatang macam apa itu karena sebelumnya aku belum pernah merasakan cinta yang sebenar-benarnya hanya uforia antar anak baru gedhe saja. Dia begitu giat mendapatkan nomor telefon ku dan selama berminggu-minggu akhirnya dia mendapatkannya entah darimana, begitulah kejadiannya sampai pada akhirnya dunia ini hanya terasa milik ku dan miliknya. Hanya kita berdua.
Kita habiskan hampir seluruh waktu bersama, mulai dari ketika dosen absen hingga dosen mengucapkan “kuliah hari ini selesai”. Dia sudah menjadi semacam candu bagi ku, senyumnya, candanya, semuanya, bahkan saat itu jika diminta akan aku serahkan seluruh hidup ku untuknya. Seluruhnya jika itu bisa membuat dia bahagia, aku hanya ingin memberi memeberi dan terus memberi walaupun aku tidak menerimapun aku masih akan tetap memberi. Seketika itu seluruh kampus mengetahui tentang aku dan dia, tak ku hiraukan itu. Bahkan tak kuhiraukan caci maki dan segala terror dari penggemar beratnya. Aku tak peduli asalkan aku bisa bersamanya aku tak peduli.
Sahabat ?? Aku memiliki 2 sahabat yang sangat menyayangiku, aku pun menyayangi mereka, sahabat dalam suka duka, sahabat yang menerima apaadanya. Jauh, itu yang mulai ku rasakan meskipun jarak kita hanya sedepa tetapi hati kita terasa jauh. Jauh dari sahabat yang menyayangiku, aku ingat, aku tidak pernah berkumpul lagi dengan sahabat-sahabat ku ketika aku mulai dekat dengan dia. Bahkan aku tidak benar-benar tahu tentang apa yang mereka rasakan tentang ku. Makan siang ? Aku bersamanya. Jam kosong ? Aku bersamanya. Kuliah usai ? Aku bersamanya.  Hampir seluruh waktuku kuhabiskan dengannya, bagaimana dengan keluarga ? Sama saja.
Memang benar, ketika aku tidak bisa melihat dengan benar merekalah yang menjadi mataku karena memang itu yang terjadi. Aku buta, aku tak bisa melihat lagi apa itu cinta dan candu. Semua yang kulihat hanya dia, semua yang kudengar hanya dia, semua yang ku ucap hanya dia. Dia dia dan dia. Tapi sahabat-sahabatku lah yang melihat untuk ku, ada yang salah dengan ku, ada yang salah dengan dia, sudah berkali-kali mereka mengingatkan tapi tak ku gubris. Dasar keras kepala mereka bilang, dasar kepala karet mereka bilang. Dan sampai pada akhirnya dia hancurkan hati ku dengan begitu mudahnya.
Kemana aku pergi ketika apa yang selama ini aku genggam telah lari ke arah orang lain ? Sahabat, itulah jawabnya. Saat itu kuhabiskan seminggu penuh hanya untuk menangisi... entahlah apa yang kutangisi, menangisinya atau menangisi hati ku sendiri ? tak ada bedanya bagi ku saat itu. Nilai ku anjlok, dari yang terbaik dikelas menjadi yang terburuk, aku tak pernah tahu bahwa patah hati akan mengurung pikiran dan logika ku serta membiarkan hati ini berkuasa dengan patah hatinya, bahkan dosen ku menanyakan “Ada apa dengan mu ?” mirip dengan sebuah judul lagi, tapi memang itu yang terjadi. Hingga sahabatlah yang menariku dari keterpurukan itu.
Mereka memarahiku, membodoh-bodohkan aku tetapi aku tidak marah karena aku tak punya alasan untuk marah karena memang aku sangatlah bodoh mungkin dungu atau mungkin buta dan tuli.
Itulah ajaibnya persahabatan, mungkin mereka marah karena aku telah sesaat melupakan mereka tapi ketika mereka melihat aku hancur, tak tahan juga mereka melihatnya. Merekalah yang pada akhirnya menguatkan ku. Menggenggam tangan ku, menggantikan genggamannya. Menuntunku ke arah cahaya. Menunjukan ku bahwa hidup masih begitu panjang membentang untuk ku jalani. Bahwa dia bukanlah segalanya, bahwa perpisahan ini bukanlah akhir, bahwa masih ada mereka untuk membuatku tertawa, menemani ku selama perjalanan ini,  bahwa aku lebih berharga dari pada luka hati sialan ini.
Maka mereka menyusun rencana untuk membantu ku keluar dari dunia hitam patah hati ini, caranya ?? Mereka tahu kegemaran ku, mereka tahu bagaimana aku. Bertamsyalah kita.
Perjalanan pertama, kita pergi melihat betapa indahnya air terjun Sedudo yang berada tak jauh dari kota ku tepatnya di Nganjuk, Jawa Timur. Kurang lebih 2 jam perjalanan yang kutempuh. Saat memulai perjalanan aku segera lupa pada apa yang baru saja terjadi, mereka telah merubahnya. Begitu indah ku nikmati alam waktu itu, begitu bahagia aku menyaksikan wajah mereka. Ku lepaskan segala beban yang selama ini menyiksa ku, kulepaskan segala rasa sakit hati ku, semuanya. Saat itu yang ada hanyalah mereka, sahabat yang sangat aku sayangi dan keindahan yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Indah indah indah, segalanya tampak begitu indah dan sempurna.
Hari kedua kami pun memutuskan untuk lari ke gunung, gunung Kelud di Kediri yang belum lama meletus menjadi tujuan kita. Sekali lagi kurasakan betapa hidup ini indah. Kita tertawa seakan esok tak pernah ada, betapa beruntungnya aku memiliki mereka.
Angin gunung sangat dingin kala itu tetapi hangat yang kurasakan disini, di hati. Betapa senyum mereka membantu ku untuk sembuh. Lalu kusadari, bahwa mereka yang selama ini ku lupakan adalah mereka yang sebenar-benarnya menyayangi ku. Bahwa merekalah yang tahu semua keburukan ku tetapi masih ada disisi ku. Detik itu juga aku menatap ke arah langit dan ku ucapkan syukur karena Tuhan telah mempertemukan ku dengan mereka. Sejak saat itu pula aku sadar bahwa apa yang aku lakukan begitu salah dan dari kesalahan ku itu aku belajar untuk mendengarkan.
Seiring kembalinya kita dari perjalanan patah hati itu aku menyadari bahwa aku telah menemukan diri ku kemabil. Aku menjadi aku lagi bahkan menjadi aku yang lebih baik berkat mereka. Aku menemukan jalan pulang.
Kita yang selalu bertiga kemanapun, kita yang selalu berkumpul bersama, menangis bersama tertawa bersama, bahkan bokek bersama meskipun banyak kesalahpahaman diantara kita tetapi persahabatan mengalahkannya. 

Sedudo Water Fall

Comments

Popular posts from this blog

Galang Rambu Anarki

MERBABU LINTAS JALUR (SELO-SUWANTING)

BUKIT PARALAYANG - NGARGOYOSO, KARANGANYAR