Tentang "Garis Waktu" (Sebuah Novel)
Bukankah aku sudah mengatakan beberapa saat lalu bahwa aku mengidolakan seorang musisi sekaligus seorang penulis ?? Ya kau benar. Bung, baru saja merilus novel teranyarnya berjudul "Garis Waktu".
Kemarin aku mengajak Ibuk untuk menemani ku ke toko buku (Ibuk ku sangat senang membaca sama seperti ku, jadi tak ada salahnya). Jujur saja aku sungguh ingin tau seperti apa novel karya bung setelah kemarin aku dibuatnya jatuh cinta dengan lagu-lagunya. Singkatnya, setelah mencari beberapa waktu, dan membaca-baca buku lainnya, dan berjalan-jalan sebentar pulanglah aku dan Ibuk ke rumah. Sampai rumah pun tak segera ku buka juga buku itu. Aku masih menunggu, menunggu suasana sore dan malam hari (waktu terbaik untuk ku membaca buku).
Selepas jam 3 sore dan kebetulan waktu itu hujan rintik menyapa kota ku, mulai ku lihat sampul buku itu. Masih lengkap terbungkus plastik pembungkus. Ada sebersit rasa tak rela untuk membukanya karena kulihat sampul buku itu berwana putih bersih kalai ku buka nanti akan cepat kotor tapi apa gunanya aku membeli buku kalau tidak untuk dibaca. Konyol sekali. Akhirnya kubuka juga plasti pembungkusnya. Aku menyukai design sampulnya yang sederhana. Ku baca sinopsisnya (meskipun sudah berulang kali ku baca penggalan cerita itu di akun instagram Bung tapi tetap saja ku ulangi lagi). Setelah itu ku buka halaman pertama, berjumpalah aku dengan pembatas halamannya. Lebar, kesan pertama ku pada pembatas halaman itu tidak seperti pembatas halaman yang biasanya ku dapat. Unik, terdapat note dibaliknya "Pada Sebuah Garis Waktu Yang Merangkak Maju..." dan kau boleh isi sendiri titik-titik itu.
Oke, cukuo visualisasinya. Ku baca kata demi kata, kalimat demi kalimat, halaman demi halaman. Hingga sampailah aku pada halaman terkahir saat itu malam telah menyapa. Menurut ku buku ini mengangkat kisah yang biasa saja, tentang jatuh cinta, tengang patah hati, tentang melarikan diri, kemudia ikhlas melepaskan. Tetapi apa yang ada di dalam buku itu adalah benar adanya, benar rasanya. Aku pernah mengalaminya, bukan hanya aku banyak orang di luar sana mungkin juga pernah mengalaminya. Menjadikan seseorang sebagai pusat semesta lalu dikhianati. Hancur. Ya benar. Benar juga ketika Bung mrngatakan tentang hancur itu akan rapi lagi ketika saatnya tiba. Sakit itu akan sembuh. Dan pada akhirnya kita akan mendoakan mereka dengan ikhlas "Semoga kau bahagia".
Benar adanya ketika hati mu patah, sahabat dan alam menjadi penawar sakit yang mujarab (Aku jadi teringat pelarian patah hati ku beberapa tahun silam ke gunung Kelud bersama sahabat-sahabat ku 😁). Benar pula ketika hati mu sembuh cepat atau lambat kau tidak akan takut lagi untuk jatuh dan terjerembab dalam cinta. Benar juga ketika Bung menuliskan gunung bukan diciptakan untuk memuaskan harga diri tetapi agar kita lebih menunduk, merendah, dan mengecil.
Yang membuat ku terpesona adalah nyawa cinta yang diselipkan Bung disana. Tiap kata mengandung makna, tentang cinta. Bagaimana dia menggambarkan rasa cintanya kepada sosok "Kau" yang membuat ku sedikit menarik ingus dan mengusap air mata. Timbul rasa ingin disana, ingin dicitai sebagaimana cara "Aku" mencintai "Kau". Ingin dimiliki sebagai mana cara "Aku" memiliki "Kau". Ingin dirindukan sebagaimana cara "Aku" merindukan "Kau". Lagi-lagi kuselipkan doa "Semoga Tuhan menyisakan lelaki seperti "Aku" untuk aku".
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, kita akan menertawakan kenangan menyakitrkan yang pernah kita jalani. Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, kita akan berterimakasih kepada Tuhan karena Dia telah mengirimkan seseorang untuk mematahakan hati ini.
Comments
Post a Comment